Di bawah langit jingga yang perlahan
memudar di ufuk barat, Rhefa menurunkan rumput dari motornya untuk makan lima
belas ekor kambingnya di tepian desa Purwoasri, Kebonagung. Angin sore membawa
aroma tanah basah dan dedaunan, sisa hujan siang tadi. Kambing-kambing berjenis
Randu dan Cross Boer itu mengembik pelan, gemuk dan sehat, bulunya mengilap
berkat perawatannya yang tak pernah setengah-setengah. Selain itu ada puluhan
ayam berada di kandang, berkotek pelan seolah menyapa tuannya yang baru pulang
dari kebun.
Pemuda Gen Z, pemilik nama lengkap Muhammad Rhefa Dwi Saputra itu, bukan tipikal remaja yang terpaku pada layar ponsel atau tren media sosial. Wajahnya yang kecokelatan oleh matahari dan tangannya yang kapalan menceritakan kisah tentang kerja keras dan keteguhan hati. Tinggal bersama ibu dan kakaknya, ia menjalani hidup dengan penuh semangat meski ayahnya bekerja sebagai TKI di Malaysia, hanya pulang setahun sekali. Lulusan SMA Negeri di Pacitan ini sempat mencicipi kuliah online, tapi ia memilih untuk berhenti. “Bukan karena nggak mampu, tapi aku merasa panggilanku ada di sini, di tanah ini,” katanya.
Dua kali Rhefa mendaftar jadi prajurit TNI, namun belum beruntung. Ia pernah ditawari “jalan pintas” oleh seorang oknum yang mengaku bisa “mengurus” seleksi dengan imbalan tertentu. Rhefa menolak mentah-mentah. “Kalau aku masuk dengan cara curang, karirku nggak akan berkah. Aku ingin berdiri di atas kakiku sendiri,” ujarnya penuh keyakinan. Bagi Rhefa, kejujuran bukan sekadar prinsip, tapi pegangan hidup yang ia junjung tinggi, sebagaimana ia selalu berusaha berjamaah di masjid setiap waktu sholat.
![]() |
Tekun mengolah kebun Foto: Dok Pribadi |
Selain beternak, Rhefa juga mengurusi kebun ayahnya. Di lahan yang tak begitu luas itu ia menanam beberapa jenis tanaman. Pagi-pagi, sebelum matahari terbit, ia sudah berada di kebun, menyiangi rumput atau menyiram tanaman. “Bertani itu bukan cuma soal panen, tapi soal sabar. Tanah nggak pernah bohong kalau kita rawat dengan hati,” katanya sambil tersenyum, keringat menetes di dahinya. Ia belajar banyak dari para petani tua di desa, mendengarkan cerita mereka tentang musim, tanah, dan cara membaca langit untuk memprediksi hujan.
Namun, Rhefa bukan sekadar petani dan peternak. Ia adalah jiwa muda yang penuh energi. Sebagai anggota komunitas lari di Pacitan, ia sering terlihat berlari melintasi pinggiran pantai dan perbukitan, sepatunya berdebu namun langkahnya ringan. Berlari baginya adalah cara melepaskan penat dan merayakan kebebasan. “Lari itu seperti hidup. Kalau kamu berhenti, kamu ketinggalan. Tapi kalau kamu terlalu buru-buru, kamu kehabisan napas,” ujarnya sambil tertawa. Hobi lainnya adalah naik gunung. Bersama teman-temannya, ia pernah menaklukkan beberapa puncak gunung, menikmati dinginnya udara puncak dan keindahan ciptaan Tuhan yang membuatnya merasa kecil namun penuh syukur.
Remaja tanggung itu tak takut dianggap “kuno” karena memilih beternak dan bertani ketimbang merantau ke kota atau mengejar pekerjaan bergengsi. Rhefa hanya tersenyum. “Gengsi nggak bikin perut kenyang. Kambingku gemuk, ayamku bertelur banyak dan tanamanku tumbuh, itu cukup buatku,” jawabnya santai. Memulai beternak pada akhir 2022 ketika ditanya mimpinya dia menjawab ingin punya peternakan besar, mungkin ratusan kambing dan ribuan ayam. Di balik jawaban itu, ada tekad yang membara. Rhefa ingin membuktikan bahwa anak muda bisa sukses di desa, tanpa harus meninggalkan akarnya. Bagi Rhefa, menjadi petani dan peternak bukan sekadar pekerjaan, tapi cara ia menulis kisahnya sendiri kisah seorang anak desa yang tak pernah takut bermimpi besar.