Ketika Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengumumkan kebijakan mengirim anak-anak yang dianggap “nakal” ke barak militer, gelombang reaksi pun muncul dari berbagai pihak. Sebagian masyarakat menyambut gagasan ini sebagai solusi “keras tapi adil”, sementara kalangan pemerhati pendidikan dan hak anak mempertanyakan urgensinya, efektivitasnya, dan terutama: kemanusiaannya.
Sebagai akademisi yang mengamati dinamika pendidikan dan perkembangan remaja, saya menilai kebijakan ini sebagai langkah yang reaktif, berisiko, dan berpotensi gagal menyentuh akar persoalan kenakalan remaja di Indonesia.
Militerisasi Bukan Jawaban atas Krisis Moral
Tidak diragukan bahwa perilaku remaja yang menyimpang—tawuran, bolos sekolah, penyalahgunaan narkoba—merupakan persoalan serius. Namun menjawabnya dengan pendekatan militeristik adalah kesalahan kategoris. Anak-anak bukan prajurit. Mereka tidak bisa diperlakukan sebagai objek pelatihan kedisiplinan tanpa mempertimbangkan aspek psikologis, sosial, dan emosional mereka.
Militerisasi menekankan kontrol, bukan kesadaran. Ia menekankan hukuman, bukan pemahaman. Bahkan jika program ini menghasilkan remaja yang “tunduk” secara fisik, belum tentu ia menginternalisasi nilai-nilai baik secara psikologis. Dalam banyak kasus, metode seperti ini justru menciptakan trauma, pemberontakan laten, atau kebencian terhadap otoritas.
Mengabaikan Akar Masalah
Pertanyaan mendasar: Mengapa seorang anak menjadi “nakal”? Apakah karena ia memang ingin jahat? Atau karena ia korban dari sistem sosial dan keluarga yang gagal? Banyak remaja dengan perilaku menyimpang ternyata berasal dari, keluarga disfungsional, tanpa kehangatan & arah, lingkungan miskin dan penuh kekerasan, kegagalan sistem pendidikan dalam memanusiakan dan memotivasi siswa.
Dengan kata lain, kenakalan adalah gejala, bukan sebab. Barak militer mungkin bisa menghilangkan gejala untuk sementara, tapi tidak menyembuhkan penyakit sosial di baliknya.
Pendidikan Seharusnya Merestorasi, Bukan Menghukum
Dalam pendekatan restorative justice dan restorative education, anak-anak yang menyimpang diberi ruang untuk merefleksi kesalahan, dipulihkan dari trauma, dan dikembalikan ke jalur sosial yang sehat melalui dukungan, bukan intimidasi.
Program yang berhasil di berbagai negara justru melibatkan pendampingan psikologis, konseling berbasis keluarga dan komunitas dan pelatihan keterampilan dan aktivitas positif seperti seni, olahraga, dan kewirausahaan. Program seperti ini membangun, bukan meredam.
Jangan Jadikan Anak Sebagai Eksperimen Kebijakan Populis
Gagasan mengirim anak-anak ke barak militer mungkin tampak menarik secara politis—tangguh, tegas, cepat. Tapi justru di sanalah bahayanya. Kebijakan publik tidak boleh berdiri di atas dasar emosional atau impresi populis. Ia harus berdiri di atas data, riset, dan prinsip moral yang menghormati manusia—terutama anak-anak—sebagai individu yang tumbuh, bukan mesin yang bisa “dibetulkan” dengan kekerasan.
Jika negara bersungguh-sungguh ingin membina generasi muda, maka jawabannya bukan pada barak militer, melainkan pada sekolah yang manusiawi, keluarga yang hangat, komunitas yang peduli, dan pemimpin yang bijak.