Ketahuilah...!! Ini Dia 'Biang Kerok' Pengusul Rokok Rp. 50 Ribu per Bungkus, Ternyata Antek Asing

 


Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Suahasil Nazara menjelaskan bahwa hingga saat ini pemerintah masih membahas besaran kenaikan cukai rokok tahun depan. 


Soal wacana kenaikan harga rokok Rp 50 ribu, dia mengatakan, hal tersebut baru sebatas usul dari kelompok pro kesehatan, yakni Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) dan didukung penuh oleh YLKI ( Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia )


”Itu kan usul. Kita mendengarkan dulu. Sementara itu, timing dan besaran kenaikan tarif cukai masih dibahas internal,” terangnya sebagaimana dilansir dari laman Jawa Pos.


Dirjen Bea Cukai Kemenkeu Heru Pambudi menekankan, wacana harga rokok Rp 50 ribu tersebut adalah salah satu usul yang disampaikan kepadanya. Dalam hal ini, bea cukai menampung semua usul, baik dari kelompok pro maupun kontra. 


Namun, dia menegaskan, jika pemerintah menuruti usul yang diajukan tersebut, industri rokok dipastikan bangkrut. 


”Kalau hanya mendengarkan satu pihak (pro kesehatan, Red), ya bisa bangkrut itu (industri rokok). Selalu kalau lewat kurva optimum, ada ekses negatifnya, yaitu industrinya mati atau bermunculan yang ilegal. Jadi, tidak hanya (mempertimbangkan) yang pro kesehatan, tapi juga ada petani (tembakau),” tuturnya. 


Eksistensi FKM UI ( Universitas Indonesia ) dan YLKI dalam 'perang' terhadap Rokok


Berdasarkan penelusuran di website Bloomberg Initiative, lembaga  Pemerintah yang menerima dana itu adalah Dinas kesehatan Provinsi Bali yang mendapatkan US$159.621 (Rp1,5 miliar) dari Bloomberg pada Maret  2012. Tugas mereka adalah mengawal implementasi Perda kawasan Bebas  Rokok yang sudah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat. 

Direktorat Jenderal (Ditjen) Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan juga ikut kebagian uangnya Bloomberg, dimana pada September 2008 menerima US$ 315.825 (Rp 2,968 miliar) dengan tujuan melatih tim khusus kontrol tembakau di sedikitnya 7 provinsi. Pada November 2011, Ditjen itu  kembali menerima US$ 300.000 (Rp 2,82 miliar) dengan tujuan memperkuat  kontrol tembakau melalui peraturan.

Lembaga negara lainnya adalah Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang menerima US$ 455.911 (Rp 4,285 miliar) pada Mei 2008 untuk mengeluarkan larangan iklan, promosi, dan kegiatan sponsorship oleh industri terkait tembakau. 

Pada bulan yang sama, sebesar US$ 142.543 (Rp 1,339 miliar) kembali dikeluarkan. Pada Maret 2011, US$200.000 (Rp  1,88 miliar) dicairkan Bloomberg ke KPAI untuk lebih mendorong agenda pelarangan iklan-iklan rokok.

Fakultas Ekonomi UI juga kebagian kue dari dana Bloomberg dalam kampanye antirokok di Indonesia. Pada Oktober 2008, mereka menerima US$ 280.755 (Rp 2,639 miliar) dengan penugasan mempengaruhi pembuat kebijakan untuk  meninjau ulang aturan pajak tembakau. Pada Juni 2008, dana dicairkan sebesar US$ 40.654 (Rp 382,147 juta).

 

Ternyata bukan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) saja yang menerima  dana dari Bloomberg Initiatives dalam kampanye antitembakau dan antirokok di Indonesia. Pemerintah Daerah, Lembaga Kementerian, dan Universitas Negeri juga turut menerima dana asing itu. 


Selain itu YLKI juga ikut kebagian kue Bloomberg.

 

Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, sebelumnya (7/2012) membenarkan bahwa YLKI menerima dana tak kurang dari Rp 5,5 miliar rupiah dari Bloomberg Initiative, untuk menyelenggarakan program-program anti tembakau di Indonesia. 
Sekedar diketahui, pengakuan Tulus tersebut dilontarkan saat kantor YLKI di Jakarta digeruduk oleh 50-an Petani tembakau dari Lumajang dan Situbondo. Para petani tersebut merupakan bagian dari aksi massa 7000 petani menolak RPP Tembakau.
Tulus Abadi yang ditemani Sudaryatmo, sesama Ketua Harian YLKI, menerangkan bahwa program-program yang dijalankan YLKI dengan dana Bloomberg adalah semata program kesehatan publik, dan program itu tidak akan merugikan petani tembakau.
Namun pernyataan itu oleh salah satu rombongan petani, Aji Daryono. Aji menunjukkan bahwa kegiatan kampanye antirokok oleh YLKI, termasuk tekanan YLKI kepada pemerintah untuk segera mengesahkan RPP, tak bisa dilihat sebagai pembatasan bagi industri saja. “Kami tidak sebodoh itu lah, Pak Tulus. Kalau RPP disahkan, industri tertekan, otomatis serapan bahan baku tembakau juga pasti berkurang,” ucap pria berjanggut ini.
Jadi, bagaimana  menurut anda? Setuju rokok 50 ribu per bungkus??




 

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form