Ini Soal Misi, Bukan Cita - Cita, Refleksi HUT RI Ke 71 Republik Indonesia

Sindopos.com - Pesan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Pertama Era Presiden Jokowi  - Jusuf kalla Pada Peringatan HUT RI ke 71.

pemikiran_mendikbud_anies_baswedan
Ilustrasi Inspirator Anies Baswedan (Foto by : http://101jakfm.com/)

Sore ini saya duduk di serambi rumah. Bendera berkibar depan serambi. Saya renungkan lagi tentang kita, tentang bangsa kita, tentang negeri ini, dan tentang perjalanan kita sebagai anak bangsa.

Melihat kibaran bendera pada 17 Agustus selalu terasa berbeda. Kibaran itu mengingatkan kita kepada para Perintis Kemerdekaan, para Pendiri Republik. Mereka ini kaum terdidik yang tercerahkan, berintegritas, dan berkesempatan hidup nyaman tapi memilih untuk berjuang. Mereka berjuang dengan menjunjung tinggi harga diri, sebagai politisi yang negarawan. Peran dan posisi mereka gonta-ganti, tapi di peran mana pun mereka dihormati karena mereka tidak pernah menanggalkan integritas dan dedikasi untuk negeri. Karena itu semua, mereka menjadi keteladanan yang menggerakkan, membuat semua siap terlibat, dan mau berjuang. 

Republik ini didirikan dan dipertahankan lewat gotong-royong yang sungguh-sungguh. Semua ikut iuran untuk republik: iuran gagasan, iuran waktu, iuran tenaga, iuran harta, iuran darah dan bahkan iuran nyawa. Mereka jalankan semua itu dengan cara terhormat. Karena itu mereka mendapatkan kehormatan dalam catatan sejarah bangsa ini. Indonesia ini dirintis dengan semangat gerakan. 

Saat Hari Kemerdekaan diperingati, kita turut berdiri dengan khidmat. Upacara peringatan bisa di kantor, di kampung, atau di Istana. Semua memperingatinya.

Tadi pagi, bersama dua putra kami, Ismail dan Kaisar, yang masih duduk di bangku SD Kelas 2 dan kelas 6, kami menaikkan Sang Merah Putih di halaman rumah. Mereka mengibarkan dan menaikkan bendera dengan rasa bangga dan ceria. Kami berharap kegiatan sederhana itu menjadi pengalaman masa kecil mereka, bahwa di rumah pun mereka kibartinggikan bendera negeri mereka. 

Menyaksikan bendera itu berada di puncak dan berkibar dengan gagah, dada ini bergetar. Melihat bendera itu, ingatan saya tertuju kepada kakek alm. AR. Baswedan dan para perintis kemerdekaan lainnya. Mereka hibahkan hidup mereka untuk memperjuangkan agar Republik ini berdiri. Mereka berjuang “menaikkan” Sang Merah-Putih selama berpuluh tahun. Berbeda dengan kita, generasi cucu dan cicit mereka, yang dalam hitungan menit bisa membawa bendera sampai puncak seperti menaikkan bendera pagi tadi. 

Para Perintis Kemerdekaan itu tak pilih jalur nyaman dan aman. Saat itu, mereka juga masih muda. Namun tidak ada kata terlalu muda untuk terlibat dalam urusan kebangsaan. Berpikir ada yang terlalu muda hanya akan membawa kita berpikir ada yang terlalu tua untuk berbuat, bertindak dan berjuang. 

Mereka adalah orang-orang yang mencintai bangsa mereka, melebihi cinta mereka kepada diri mereka. Saya pernah menerima pesan pendek dari salah satu putri Proklamator kita. Ia meneruskan pesan pendek itu berisi sila-sila dalam Pancasila yang dipelesetkan,  misalnya “Ketuhanan Yang Maha Esa” diubah menjadi “keuangan yang maha kuasa” dan seterusnya. Lalu ia tuliskan, “Bung Anies, apakah sudah separah ini bangsa kita? Kasihan kakekmu, kasihan ayahku. Mereka telah berjuang tanpa memikirkan diri sendiri, akan ‘gain’ apa.”

Itulah kesaksian otentik keluarga Perintis Kemerdekaan yang melihat dari dekat, dalam kesehariannya betapa para Perintis Kemerdekaan itu telah hibahkan segalanya untuk bangsanya.

Mereka telah ambil peran di zaman mereka, kini bagian kita. Di tengah deretan masalah dan goncangan yang bisa mengempiskan optimisme, kita harus pilih untuk terus hadir mendorong optimisme. Mendorong muncul dan terangnya harapan dengan berbuat, berkarya. Kini pilihannya jelas, mengutuk kegelapan atau ikut menyalakan lilin, menyalakan cahaya. Lipat tangan atau turun tangan. Mari kita pilih yang kedua, kita pilih menyalakan cahaya. Kita pilih berbuat, sekecil apa pun. 

Mari kita lihat lagi bagaimana semangat gerakan yang menjadi pijar gelora untuk merdeka waktu itu harus dinyalaterangkan lagi dalam pemerintahan, dalam kehidupan bernegara. Di masanya semangat gerakan itu telah berhasil membuat semua elemen merasa turut memiliki atas masalah-masalah yang ada di bangsa ini. Efeknya, semua terpanggil untuk bekerja walau tanpa ada perintah formal.

Kita semua sadar bahwa satu orang tidak bisa menyelesaikan seluruh masalah. Dan, cara efektif untuk melanggengkan masalah adalah dengan kita semua hanya lipat tangan dan berharap ada satu orang terpilih menjadi pemimpin lalu menyelesaikan seluruh masalah. Tantangan di negeri ini terlalu besar untuk diselesaikan satu orang; tantangan ini harus diselesaikan lewat kerja kolosal. Tapi tidak bisa hanya kerja dan kerja tanpa semangat gerakan dan tanpa berdasarkan pada visi, gagasan dan ide yang dipahami semua. 

Perubahan tidak berjalan sebagai program saja, tetapi sebagai gerakan. Dalam gerakan terbangun kesadaran kolekti atas arah dan tujuan, sehingga seluruh komponen bisa terpanggil dan ikut terlibat. Apalagi, di negeri ini masih ada terlalu banyak orang baik, masih amat besar potensi kekuatan orang lurus di semua sektor. Saya temukan mereka saat berjalan ke berbagai tempat. Apalagi, saat mendiskusikan dengan anak-anak generasi baru Republik ini, saya bertemu orang-orang baik yang pemberani, yang mencintai negeri mereka lebih daripada cinta mereka kepada citra diri mereka, yang tak takut dikritik, dan selalu katakan siap berbuat. 

Pertanyaan yang kita perlu jawab bukanlah apa yang akan kita sumbangkan untuk Indonesia. Pertanyannya adalah dengan banyaknya yang sudah diterima dari Republik ini, bagaimana kita bisa mengembalikan balik untuk Indonesia?  

Jalur berkarya untuk negeri itu bisa terjal dan penuh tantangan, bisa berhasil dan bisa gagal. Bisa tegak, bisa jatuh dan bisa bangun. Tapi saya percaya, nyali kita tidak pernah ciut, dan dada kita makin penuh semangat. 

Apalagi, kita sangat sadar bahwa kita tidak membawa cita-cita, tapi mengemban misi. Cita-cita itu untuk diraih, misi itu untuk dilaksanakan. Posisi dan tugas bisa gonta-ganti tapi di jalur mana pun misi bisa dibawa, bisa dilaksanakan sebab misi tak pernah terkunci pada posisi. Misi jauh lebih besar dan lebih penting daripada urusan posisi.  

Kesadaran atas misi itulah yang jadi pembeda saat bekerja dan berkarya. Mengerjakan hal yang sama pun jadi terasa bernyawa karena ada persenyawaan antara kita sebagai pelaku dengan ide dan dengan karya. Manusia, ide dan karya menyatu. Saat persenyawaan itu terjadi efeknya bisa dahsyat: kerja dan karya akan muncul dengan pesan, dengan rasa, dan tak pernah hambar. 

Kerja dan karya hadir dengan gelora semangat dan dikerjakan dengan sepenuh hati. Kata-kata pun jadi pesan yang menggerakkan; pada kata-kata ada rasa, ada nyawa, ada gelora panggilan untuk berbuat. Itulah kenapa bibit gerakan bisa membesar dan membuat semua terpanggil untuk ikut bekerja bersama. Itulah efek kesadaran atas misi dalam berkarya, dalam bekerja.

Misi kita adalah ikut melaksanakan janji mulia pendirian Republik ini. Sekecil apa pun itu, kita siap untuk terlibat demi melunasi tiap Janji Kemerdekaan. Biarkan hari-hari ini kita berkeringat dan semoga kelak butiran keringat itu menjadi penumbuh rasa bangga kepada anak-anak kita dan pembuka aliran rida dari Yang Maha Kuasa. Biar mereka bangga bahwa kita tidak tinggal diam dan tak ikut lakukan pembiaran, kita pilih ikut berbuat. Sebagaimana mereka bangga bahwa pada hari ini kami bertiga—berdiri bersama—mengibarkan Sang Merah Putih di halaman rumah sendiri. Biarkan mereka, generasi baru Republik ini,  terus menyadari bahwa kita bawa misi, bukan sekadar cita-cita. 

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form